topmetro.news, Jakarta – Sertifikat halal kini bukan sekadar penanda keagamaan, tetapi telah menjadi instrumen penting untuk mengukur geliat ekonomi. Produk bersertifikat halal kini semakin diutamakan di pasar global, termasuk Eropa dan China, khususnya untuk ekspor ke negara-negara muslim.
Deputi Bidang Registrasi dan Sertifikasi Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Mamat S. Burhanudin menjelaskan, sertifikat halal bertujuan memberikan kepastian hukum mengenai kehalalan sebuah produk. Adapun tahapan kewajiban sertifikat halal sudah dimulai sejak 2024.
Kewajiban halal awalnya berlaku pada produk makanan, minuman, jasa dan hasil penyembelihan, bahan baku, tambahan pangan, dan penolong untuk produk makanan dan minuman.
“Makanan dan minuman untuk UMKM direlaksasi sampai 2026. Jadi ada dua relaksasi untuk UMKM dan produk luar negeri sampai tahun depan,” ujarnya dalam Training of Trainer (ToT) Ekonomi dan Keuangan Syariah yang digelar Forjukafi dan Bank Indonesia di Sari Pacific, Jakarta, pada Jumat (14/11/2025).
Tahapan Kewajiban Sertifikat Halal
2026: Kewajiban halal berlaku pada obat tradisional dan suplemen, kosmetik, produk kimiawi, dan rekayasa genetik. Selain itu, berlaku untuk barang gunaan seperti sandang dan aksesoris, perbekalan rumah tangga, ibadah muslim, kantor, serta alat kesehatan kategori A.
2029: Kewajiban halal berlaku pada obat bebas dan obat bebas terbatas, serta alat kesehatan kategori B.
2034: Kewajiban halal berlaku pada produk obat keras (dikecualikan psikotropika) dan alat kesehatan kategori C.
Dia menambahkan, ada tiga kategori produk: Wajib bersertifikat: Restoran, kaki lima, dan produk yang melalui proses pengolahan.
Tidak wajib bersertifikat: Telur, sayuran, dan produk sejenis, namun wajib mencantumkan keterangan jika mengandung bahan tidak halal seperti babi atau alkohol.
“Produk haram itu wajib diberikan keterangan, seperti mengandung babi. Ini sitasi dari BPOM. Jadi keterangan itu harus ditampilkan untuk produk tersebut,” jelasnya.
Dari proses ini, sertifikat halal Indonesia kini menjadi nilai tambah bagi suatu produk, tidak hanya di pasar lokal tetapi juga di pasar internasional.
“Dengan sertifikat halal, produk menjadi resmi. UMKM yang tadinya nonformal bisa menjadi formal, dan banyak yang memberikan testimoni positif,” ujarnya.
Bahkan, karena pesatnya literasi halal saat ini, banyak UMKM atau pelaku usaha yang sebenarnya tidak wajib memiliki sertifikat halal kini mengajukan sertifikat untuk mengembangkan usahanya.
“Banyak perusahaan beras, cabai, dan sejenisnya yang sebenarnya tidak wajib bersertifikat, namun mengurus sertifikat karena saingannya sudah memilikinya. Jadi sertifikat halal menjadi nilai sendiri bagi produk,” tambahnya.
Dirinya menegaskan, sertifikat halal bukan lagi urusan agama, tetapi urusan ekonomi. Lama kelamaan, sertifikat ini menjadi nilai tambah dalam persaingan perdagangan.
“Fenomena ini juga terjadi di tingkat dunia. Di Eropa dan China, sertifikat halal dianggap sangat penting, terutama untuk produk yang dikirim ke negara-negara muslim,” ujarnya.
sumber:okezone
